Diberdayakan oleh Blogger.
Topics :

BERITA PAPUA


RANCANGAN
UNDANG—UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR :.... TAHUN 2001

tentang


OTONOMI KHUSUS BAGI PROPINSI PAPUA
DALAM BENTUK
WILAYAH BERPEMERINTAHAN SENDIRI






DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : TAHUN 2001

TENTANG
OTONOMI KHUSUS BAGI PROPINSI PAPUA DALAM BENTUK WILAYAH BERPEMERINTAHAN SENDIRI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA




Menimbang:
  1. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak-hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;
  3. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diubah melalui perubahan pertama dan perubahan kedua, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;
  4. bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: IV/MPR/1999 mengamanatkan bahwa "... integrasi bangsa dipertahankan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang...", serta "...menyelesaikan kasus pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat ...";
  5. bahwa penduduk asli di Propinsi Papua yang sebelumnya disebut Irian Jaya adalah suku bangsa Papua, yang merupakan salah satu rumpun dari ras Melanesia, yang berbeda dari sebagian besar suku-suku bangsa di Indonesia, dan memiliki keragaman kebudayaan, adat istiadat, dan bahasanya sendiri, serta memiliki sejarah yang lain dan berbeda dengan sejarah propinsi-propinsi lain di Indonesia;
  6. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua selama ini belum menjawab seluruh aspirasi masyarakat, belum memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat, belum mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum menampakkan penghormatan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia Papua;
  7. bahwa hasil pengelolaan kekayaan alam Tanah Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang tajam antara Propinsi Papua dan daerah lain, serta pelanggaran terhadap hak-hak dasar penduduk Papua asli;
  8. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Propinsi Papua dan daerah lain, dan meningkatkan taraf hidup rakyat Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli di Tanah Papua untuk berpemerintahan sendiri, diperlukan kebijakan khusus;
  9. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak dasar penduduk asli, Hak-hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, etika dan moral, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
  10. bahwa pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia dan hak-hak dasar penduduk asli TanahPapua telah melahirkan kesadaran baru untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan Pemerintah terhadap hak-hak tersebut;
  11. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan alasan-alasan tersebut di atas, maka dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus kepada Propinsi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
Mengingat:
  1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 5 ayat 1, pasal 18, pasal 18a, pasal 18b, dan pasal 21 ayat 1;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XV/MPR/1998, tentang Penyelengga-raan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional Yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998, tentang Hak Asasi Manusia;
  4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN);
  5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: IV/MPR/2000, tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
DENGAN PERSETUJUAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROPINSI PAPUA DALAM BENTUK WILAYAH BERPEMERINTAHAN SENDIRI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Otonomi khusus adalah suatu status politik yang diakui dan diberikan kepada Propinsi Papua untuk mengatur dan melaksanakan sejumlah kewenangan yang hanya berlaku di Propinsi Papua;
  2. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri;
  3. Wilayah Berpemerintahan Sendiri, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, selanjutnya disebut Propinsi Papua, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat;
  4. Pemerintah Propinsi Papua adalah Gubernur beserta perangkat pemerintah Propinsi Papua sebagai Badan Eksekutif;
  5. Gubernur Propinsi Papua, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pemerintahan sendiri di Propinsi Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Propinsi Papua;
  6. Parlemen Papua terdiri atas Majelis Rakyat Papua, selanjutnya disingkat MRP, yang keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil adat wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan, serta Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disingkat DPRP, yang keanggotaannya terdiri atas wakil partai-partai politik;
  7. Bendera, Lambang dan Lagu adalah panji-panji kebesaran, keagungan dan keluhuran jatidiri orang Papua;
  8. Garis-Garis Besar Haluan Pembangunan Propinsi Papua, selanjutnya disingkat GBHPPP, adalah ketetapan-ketetapan mengenai arah, kebijakan, dan operasionalisasi pembangunan jangka panjang Propinsi Papua;
  9. Peraturan Daerah Dasar Propinsi Papua, selanjutnya disebut Peraturan Dasar, adalah Peraturan Daerah yang memuat hal-hal pokok mengenai perlindungan hak-hak dasar rakyat, panji-panji Propinsi Papua, tata cara pemilihan dan keanggotaan lembaga legislatif Propinsi dan tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Garis-garis Besar Haluan Pembangunan Propinsi Papua, serta pengaturan kewenangan Pemerintah yang tidak diatur dalam Undang-Undang ini;
  10. Peraturan Daerah Propinsi, selanjutnya disebut Peraturan Propinsi, adalah produk hukum pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini;
  11. Distrik, yang dahulu dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota;
  12. Kampung atau dapat disebut dengan nama lain adalah kesatuan wilayah otonom terkecil yang berada di bawah Kabupaten/Kota;
  13. Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur di dalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Kampung;
  14. Hak-hak Asasi Manusia, selanjutnya disebut HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
  15. Adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang diakui, dipatuhi, dan dilembagakan serta dipertahankan secara turun-temurun;
  16. Masyarakat Adat adalah sekelompok orang asli Papua yang hidup dan terikat dalam wilayah dan adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;
  17. Hukum Adat adalah aturan atau norma yang disepakati bersama oleh masyarakat adat secara tidak tertulis yang wajib ditaati dan mempunyai sanksi;
  18. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dikuasai oleh masyarakat adat atas wilayah tertentu, termasuk hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta seluruh isinya;
  19. Orang Papua Asli adalah orang-orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia di Tanah Papua;
  20. Penduduk Propinsi Papua, selanjutnya disebut Penduduk, adalah semua orang yang terdaftar dan berdiam di Tanah Papua.

BAB II
NAMA, BENDERA, LAMBANG, LAGU, DAN WILAYAH
Pasal 2
Nama Propinsi yang sebelumnya disebut Propinsi Irian Jaya, menurut Undang-undang ini, selanjutnya disebut Propinsi Papua.
Pasal 3
Selain Bendera Merah Putih sebagai Bendera Nasional, Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan, dan Burung Garuda sebagai Lambang Negara, Propinsi Papua juga memiliki bendera, lambang dan lagu yang diatur dalam Peraturan Dasar.
Pasal 4
Wilayah hukum Propinsi Papua adalah sama dengan wilayah Propinsi Irian Jaya, terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

BAB III
PEMBAGIAN DAERAH
Pasal 5
  1. Propinsi Papua dibagi dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing bersifat otonom;
  2. Daerah Kabupaten dan Kota terdiri atas sejumlah distrik;
  3. Daerah Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain;
  4. Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan pengaturan pemerintahan Kabupaten dan Kota, termasuk pembagian kewenangan, ditetapkan dengan Peraturan Propinsi;
  5. Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan pengaturan Distrik dan Kampung atau yang disebut dengan nama lain, ditetapkan dengan Peraturan Propinsi;
  6. Di dalam Propinsi Papua dapat dibentuk kawasan khusus yang diatur dalam Peraturan Propinsi.

BAB IV
KEWENANGAN DAERAH
Pasal 6
  1. Kewenangan Propinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan eksternal, moneter, dan Peradilan Tingkat Kasasi;
  2. Kewenangan-kewenangan Pemerintah selain dari yang dimaksud dalam ayat (1) dapat diberlakukan di Propinsi Papua yang ditetapkan dengan Peraturan Dasar;
  3. Pemerintah Propinsi dapat menyelenggarakan kerja sama di bidang ekonomi, perdagangan, investasi, kebudayaan serta ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan pihak luar negeri, dan jika dipandang perlu dapat membuka kantor penghubung untuk maksud tersebut;
  4. Pemerintah mengatur penempatan satuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Propinsi Papua setelah mendapat pertimbangan Parlemen Papua dan Pemerintah Propinsi;
  5. Pemerintah Propinsi Papua berhak menerima dan menguasai seluruh sumberdaya yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangannya termasuk pembiayaan, personil, peralatan, dan dokumen sejauh belum dikuasai pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku;
  6. Perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dengan kepentingan Propinsi Papua dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan Parlemen Papua dan Pemerintah Propinsi.
BAB V
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
U m u m
Pasal 7
  1. Di Propinsi Papua dibentuk Parlemen Papua sebagai badan legislatif dan Pemerintah Propinsi sebagai badan eksekutif;
  2. Parlemen Papua terdiri atas MRP dan DPRP yang berkedudukan di ibukota Propinsi;
  3. Pemerintah Propinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah Propinsi lainnya;
  4. Di Kabupaten dan Kota dibentuk DPR Kabupaten dan DPR Kota sebagai badan legislatif serta Pemerintah Kabupaten dan Kota sebagai badan eksekutif;
  5. Pemerintah Kabupaten dan Kota terdiri atas Bupati dan Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten dan Kota lainnya;
  6. Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.
Bagian Kedua
Badan Legislatif
Pasal 8
(1) Kekuasaan legislatif Propinsi Papua dilaksanakan oleh Parlemen Papua;
(2) Masa jabatan anggota MRP dan DPRP adalah 5 (lima) tahun;
(3) MRP dan DPRP memiliki fungsi dan tugas yang berbeda.
Pasal 9
  1. MRP beranggotakan orang-orang Papua asli yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.
  2. Tata cara pemilihan dan penentuan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Dasar.


Pasal 10
(1) MRP mempunyai tugas dan wewenang:
  1. bersama-sama dengan DPRP memilih, mengangkat, dan memberhentikan Gubernur dan Wakil Gubernur;
  2. bersama-sama dengan DPRP membentuk dan menetapkan Peraturan Dasar dan GBHPPP;
  3. memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada DPRP, DPR Kabupaten, dan DPR Kota serta Gubernur, Bupati, dan Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan terhadap hak-hak orang-orang Papua asli;
  4. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;
  5. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah terhadap rencana perjanjian interna-sional yang menyangkut kepentingan Propinsi;
  6. mengawasi pelaksanaan kerjasama internasional di Propinsi;
  7. bersama-sama dengan DPRP memilih para utusan Propinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.
Pasal 11
(1) MRP mempunyai hak:
a. bersama-sama dengan DPRP meminta pertanggungjawaban Gubernur;
b. meminta keterangan kepada Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota;
c. mengajukan pernyataan pendapat;

d. menolak Peraturan Propinsi atau kebijakan lain yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang Papua asli;
e. menentukan Anggaran Belanja MRP;
f. menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP, kecuali untuk butir a dilakukan melalui konsultasi dengan DPRP, serta untuk butir e ditetapkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Propinsi.
Pasal 12
(1) Setiap anggota MRP mempunyai hak:
a. mengajukan pertanyaan;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. imunitas dan impunitas;
d. protokoler;
e. keuangan/administrasi;

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP, kecuali untuk aspek keuangan yang ditetapkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Propinsi.
Pasal 13
  1. DPRP terdiri atas unsur partai politik lokal dan partai politik nasional yang dipilih melalui pemilihan yang umum, langsung, jujur, adil, bebas, dan rahasia;
  2. Tata cara pemilihan dan penentuan jumlah anggota DPRP ditetapkan dalam Peraturan Dasar;
  3. Tata cara pelaksanaan pemilihan umum di Propinsi Papua dan keikutsertaan partai politik nasional dan partai politik lokal ditetapkan dalam Peraturan Propinsi.
Pasal 14
DPRP mempunyai tugas dan wewenang:
  1. bersama-sama MRP memilih, mengangkat, dan memberhentikan Gubernur dan Wakil Gubernur;bersama-sama MRP membentuk dan menetapkan Peraturan Dasar dan GBHPPP;
  2. bersama-sama dengan Gubernur menetapkan Anggaran Penerimaan dan Belanja Propinsi;
  3. mengawasi pelaksanaan Peraturan Dasar, Peraturan Propinsi, Keputusan Gubernur, dan kebijakan-kebijakan lain;
  4. mengawasi pemanfaatan Anggaran Penerimaan dan Belanja Propinsi;
  5. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintahterhadap rencana perjanjian interna-sional yang menyangkut kepentingan Propinsi;
  6. mengawasi pelaksanaan kerjasama internasional di daerah;
  7. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya;
  8. bersama-sama dengan MRP memilih para utusan Propinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP.
Pasal 15
(1) DPRP mempunyai hak:
a. bersama-sama dengan MRP meminta pertanggungjawaban Gubernur;
b. meminta keterangan kepada Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota;
c. mengadakan penyelidikan;
d. mengadakan perubahan atas Rancangan Peraturan Propinsi;
e. mengajukan pernyataan pendapat;
f. mengajukan Rancangan Peraturan Propinsi;
g. menentukan Anggaran Belanja DPRP;
h. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRP.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP, kecuali untuk butir a dilakukan melalui konsultasi dengan MRP, serta untuk butir e ditetapkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Propinsi.
Pasal 16
(1) Setiap anggota DPRP mempunyai hak:
a. mengajukan pertanyaan;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. imunitas dan impunitas;
d. protokoler;
e. keuangan/administrasi;

(3) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP, kecuali untuk aspek keuangan yang ditetapkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Propinsi.
Bagian Ketiga
Lembaga Eksekutif
Pasal 17
  1. Pemerintahan Propinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur,
  2. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur;
  3. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Peraturan Dasar.
Pasal 18
Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah orang Papua asli dengan syarat-syarat:
  1. beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  2. berpendidikan sekurang-kurangnya Sarjana atau yang setara;
  3. berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;
  4. sehat jasmani dan rohani;
  5. setia kepada negara dan berpihak kepada Rakyat Papua;
  6. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik;
  7. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik;
  8. tercatat sebagai penduduk Papua dan Warga Negara Indonesia.
Pasal 19
Gubernur mempunyai kewajiban:
  1. memegang teguh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
  2. menghormati kedaulatan rakyat;
  3. menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Propinsi Papua;
  4. meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat;
  5. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
  6. mengajukan Rancangan Peraturan Propinsi dan menetapkannya sebagai Peraturan Propinsi bersama-sama dengan DPRP;
  7. menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, jujur, dan berwibawa, serta bertanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan dan pengawasan sesuai dengan GBHPPP.
Pasal 20
Wakil Gubernur mempunyai tugas:
a. membantu Gubernur dalam melaksanakan kewajibannya;
b. mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan instansi pemerintahan di Propinsi;
c. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Gubernur.


Pasal 21
  1. Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya;
  2. Apabila Gubernur berhalangan tetap, jabatan Gubernur dijabat oleh Wakil Gubernur sampai habis masa jabatannya;
  3. Apabila Wakil Gubernur berhalangan tetap, jabatan Wakil Gubernur tidak diisi;
  4. Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap, maka Pimpinan DPRP menunjuk seorang pejabat pemerintah Propinsi yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Gubernur dan Wakil Gubernur;
  5. Selama penunjukan tersebut pada ayat (3) belum dilakukan, Sekretaris Daerah atau yang disebut dengan nama lain menjalankan tugas Gubernur dan Wakil Gubernur untuk sementara waktu;
  6. Dalam keadaan seperti yang dimaksud dalam ayat (3), Parlemen Papua menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur selambat-lambatnya dalam waktu tiga bulan;
Pasal 22
  1. Dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Propinsi, Gubernur bertanggungjawab kepada Parlemen Papua;
  2. Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib yang disetujui oleh Parlemen;
  3. Sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden;
  4. Tata cara pertanggungjawaban Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Presiden;
  5. Gubernur mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan kewenangan pusat di Propinsi Papua sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
  6. Gubernur, bersama-sama dengan aparat Pemerintah yang ditempatkan di daerah atau aparat Propinsi, melaksanakan kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
  7. Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh Pemerintah.
BAB VI
PERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN
Pasal 23
  1. Perangkat Propinsi Papua terdiri atas Sekretariat Propinsi, Dinas Propinsi, dan lembaga teknis lainnya, yang dibentuk sesuai kebutuhan Propinsi;
  2. Pengaturan tentang ketentuan ayat (1) diatur dalam Peraturan Propinsi;
Pasal 24
(1) Pemerintah Propinsi menetapkan kebijakan kepegawaian Propinsi;
(2) Pengaturan tentang ketentuan ayat (1) diatur dalam Peraturan Propinsi.

BAB VII
PARTAI POLITIK LOKAL DAN NASIONAL
Pasal 25
  1. Penduduk Propinsi Papua berhak membentuk Partai Politik Lokal;
  2. Partai Politik Lokal dan Partai Politik Nasional memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan memperoleh perlakuan yang sama dari Pemerintah Propinsi;
  3. Tata cara pembentukan Partai Politik Lokal ditetapkan dalam Peraturan Dasar.
  4. Tata cara keikutsertaan Partai Politik Lokal dan Nasional dalam Pemilu di Propinsi Papua ditetapkan dalam Peraturan Dasar.

BAB VIII
PERATURAN DASAR, PERATURAN PROPINSI ,
DAN KEPUTUSAN GUBERNUR
Pasal 26
  1. Peraturan Dasar dibuat dan ditetapkan oleh Parlemen Papua;
  2. Peraturan Propinsi dibuat dan ditetapkan oleh Gubernur dan DPRP;
  3. Tata cara pembuatan Peraturan Propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Propinsi.
Pasal 27
  1. Untuk melaksanakan Peraturan Propinsi, Gubernur menetapkan Keputusan Gubernur;
  2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum daerah dan Peraturan Propinsi.
Pasal 28
  1. Peraturan Propinsi dan/atau Keputusan Gubernur yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), apabila bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh Pemerintah;
  2. Keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Propinsi disertai alasan-alasannya.
  3. Bilamana Propinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud ayat (2), maka Propinsi dapat mengajukan gugatan kepada Mahkamah Agung.
  4. Apabila gugatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) di atas dibenarkan oleh Mahkamah Agung, Peraturan Propinsi dan/atau Keputusan Gubernur tersebut tetap berlaku.
  5. Selama belum ada keputusan Mahkamah Agung, pelaksanaan Peraturan Daerah dan/atau Keputusan Gubernur dimaksud pada ayat (1) ditangguhkan.
  6. Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dimasukkannya gugatan tersebut ke Mahkamah Agung tidak diperoleh keputusan, maka Peraturan Propinsi dan/atau Keputusan Gubernur dimaksud pada ayat (1) diberlakukan kembali.
Pasal 29
  1. Peraturan Propinsi dan Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Propinsi Papua;
  2. Peraturan Propinsi dan Keputusan Gubernur mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Propinsi Papua;
  3. Peraturan Propinsi dan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dimasyarakatkan oleh Pemerintah Propinsi.
Pasal 30
  1. Dalam rangka pengawasan Peraturan Propinsi dan Keputusan Gubernur tentang penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Papua, dibentuk Badan Pengawas Produk Hukum Propinsi;
  2. Badan Pengawas dimaksud pada ayat (1) merupakan Badan Independen, yang terdiri atas praktisi dan ahli hukum;
  3. Badan ini mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan represif terhadap Peraturan Propinsi, dan Peraturan Kabupaten/Kota serta Keputusan Gubernur, dan Bupati/Walikota yang bersifat mengatur;
  4. Bentuk, susunan, keanggotaan, tugas, dan wewenang Badan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Propinsi.

BAB IX
K E U A N G A N
Pasal 31
  1. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Propinsi dan Parlemen Papua dibiayai oleh dan atas beban Anggaran Penerimaan dan Belanja Propinsi;
  2. Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Propinsi dibiayai oleh dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 32
(1) Sumber-sumber penerimaan Propinsi Papua terdiri atas:
a. penerimaan asli Propinsi;
b. pinjaman Propinsi.
(2) Sumber penerimaan Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
atas:
a. pajak dan bukan pajak yang obyeknya berada dalam Propinsi Papua;
b. retribusi;
c. hasil-hasil sumber daya alam dalam wilayah Propinsi;
d. bagian dari laba Perusahaan Milik Propinsi;
e. lain-lain penerimaan Propinsi yang sah.
Pasal 33
  1. Seluruh pajak dan bukan pajak yang obyeknya berada dalam Propinsi merupakan sumber penerimaan Propinsi yang disetor ke kas Daerah dan seluruhnya menjadi hak Pemerintah Propinsi;
  2. Dari jumlah pembayaran yang dimaksudkan dalam ayat (1), setinggi-tingginya 20 (dua puluh) persen disetor ke kas Pemerintah.
Pasal 34
(1) Wajib pajak di Propinsi Papua terdiri atas penduduk dan bukan penduduk;
(2) Pembebanan dan pembayaran pajak diatur dalam Peraturan Propinsi.

BAB X
PEREKONOMIAN
Pasal 35
Usaha-usaha perekonomian di Propinsi Papua, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam, dilakukan untuk sebesar-besar kesejahteraan seluruh rakyat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dan pemerataan, melindungi hak-hak masyarakat adat, memberi kepastian hukum bagi pengusaha, serta pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.
Pasal 36
  1. Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 35 dilaksanakan sepenuhnya di Propinsi Papua;
  2. Pengaturan lebih lanjut mengenai ayat (1) diatur dalam Peraturan Propinsi.
Pasal 37
  1. Perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati sepanjang tidak merugikan masyarakat dan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini;
  2. Pengaturan lebih lanjut mengenai ayat (1) diatur dalam Peraturan Propinsi.

Pasal 38
  1. Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat;
  2. Para penanam modal yang melakukan investasi di wilayah hukum Propinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat;
  3. Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Propinsi/ Kabupaten/Kota dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat;
  4. Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya;
  5. Pengaturan lebih lanjut tentang ayat (2), (3) dan (4) ditetapkan dalam Peraturan Propinsi.

BAB XI
PERLINDUNGAN HAK—HAK ADAT
Pasal 39
  1. Pemerintah Propinsi Papua wajib mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak adat orang Papua asli;
  2. Hak-hak adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup hak ulayat atas tanah, air atau laut pada batas-batas tertentu, serta hutan, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
  3. Masyarakat adat harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang melekat pada hak - hak adat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2);
  4. Pengaturan tentang perlindungan hak-hak adat dan ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Propinsi.
Pasal 40
  1. Pemerintah Propinsi berkewajiban melindungi dan membina hak cipta masyarakat adat;
  2. Pengaturan dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Propinsi.
BAB XII
HAK-HAK ASASI MANUSIA
Pasal 41
  1. Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan penduduk Propinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak-hak Asasi Manusia di seluruh Propinsi sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa, Deklarasi Wina 1993 tentang Hak-hak Asasi Manusia, serta berbagai Konvensi Internasional yang berkaitan dengan perlindungan Hak-hak Asasi Manusia;
  2. Untuk maksud tersebut pada ayat (1), dibentuk Komisi Hak-hak Asasi Manusia Propinsi Papua yang merupakan badan independen, berwenang untuk menyelidik, menyidik, dan mengajukan pelanggar HAM ke Badan Peradilan HAM Propinsi;
  3. Susunan, kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Komisi Hak-hak Asasi Manusia Propinsi Papua diatur melalui Peraturan Propinsi.
Pasal 42
  1. Korban, keluarga korban atau ahli waris korban pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia di Propinsi Papua sejak tanggal 1 Mei 1963 diberikan dana kompensasi atau bentuk lain oleh Pemerintah dan Pemerintah Propinsi;
  2. Korban pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia berhak memperoleh rehabilitasi menurut peraturan perundangan yang berlaku;
  3. Besarnya dana kompensasi atau bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Badan Peradilan Hak-hak Asasi Manusia Propinsi dengan memperhatikan aturan-aturan adat.
Pasal 43
  1. Dalam rangka penyelesaian secara tuntas dan menyeluruh perbedaan pendapat mengenai sejarah integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia dibentuk Komisi Pelurusan Sejarah Papua;
  2. Pengaturan, pelaksanaan tugas, dan pembiayaan Komisi tersebut di atas diatur dengan Peraturan Propinsi.
Pasal 44
Untuk menegakkan HAM kaum perempuan, Pemerintah Propinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.

BAB XIII
KEKUASAAN PERADILAN, KEJAKSAAN,
DAN KEPOLISIAN
Pasal 45
  1. Peradilan di wilayah hukum Propinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan Negara dan Peradilan Adat;
  2. Badan Peradilan Negara meliputi Badan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Hak-Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di Propinsi dan Kabupaten/Kota;
  3. Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara sebagaimana diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Badan Peradilan Hak-Hak Asasi Manusia memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara-perkara pelanggaran hak-hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII Undang-Undang ini;
  5. Pembentukan, susunan, dan kedudukan, Badan Peradilan Negara diatur dengan Peraturan Propinsi;
  6. Sebelum terbentuk Badan Peradilan Hak-hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka kasus-kasus pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia diadili oleh Pengadilan yang berwenang;
  7. Peradilan Adat memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili perkara dan atau sengketa menurut hukum adat dari pihak yang menjadi korban dan/atau dirugikan;
  8. Perkara atau sengketa yang telah mendapatkan putusan dari Peradilan Adat tidak dapat diajukan untuk diadili oleh Badan Peradilan Negara sepanjang tidak melanggar Hak-hak Asasi manusia.
Pasal 46
  1. Penuntutan terhadap tindak pidana di Propinsi Papua dijalankan oleh lembaga Kejaksaan;
  2. Pembentukan, susunan, kedudukan, tugas dan wewenang, dan ketentuan lain mengenai kejaksaan diatur dengan Peraturan Propinsi.
Pasal 47
  1. Untuk menciptakan keamanan dan ketertiban, dibentuk Kepolisian Propinsi Papua;
  2. Kepolisian Propinsi Papua berada di bawah wewenang dan bertanggung jawab kepada Gubernur;
  3. Hubungan Kepolisian Propinsi Papua dengan Kepolisian Republik Indonesia bersifat koordinatif melalui Gubernur sebagai penanggungjawab keamanan Propinsi Papua;
  4. Pembentukan, susunan, kedudukan, tugas dan wewenang Kepolisian Propinsi diatur dengan Peraturan Propinsi.

BAB XIV
KEAGAMAAN
Pasal 48
  1. Setiap penduduk memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing;
  2. Setiap penduduk berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Propinsi Papua.
Pasal 49
Pemerintah Propinsi berkewajiban:
  1. menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
  2. menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;
  3. mengakui otonomi lembaga keagamaan;
  4. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

BAB XV
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 50
  1. Pemerintah Propinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Propinsi Papua;
  2. Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi Pimpinan Perguruan Tinggi dan Pemerintah Propinsi;
  3. Setiap penduduk Propinsi Papua berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran yang bermutu seperti yang dimaksud dalam ayat (1) sampai di tingkat Sekolah Lanjutan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya;
  4. Dalam mengembangkan pendidikan, Pemerintah Propinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Tanah Papua;
  5. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksudkan pada ayat (4) disertai dengan pembiayaan;
  6. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Propinsi.
Pasal 51
  1. Pemerintah Propinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua;
  2. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Propinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Propinsi;
  3. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disertai dengan pembiayaan;
  4. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) di atas ditetapkan dengan Peraturan Propinsi.
Pasal 52
  1. Pemerintah Propinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jatidiri orang Papua;
  2. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan;
  3. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.
BAB XVI
KESEHATAN DAN GIZI
Pasal 53
  1. Pemerintah Propinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk;
  2. Pemerintah Propinsi berkewajiban untuk mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk;
  3. Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dengan beban masyarakat serendah-rendahnya;
  4. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Pemerintah Propinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Propinsi;
  5. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di atas ditetapkan dengan Peraturan Propinsi.
Pasal 54
  1. Pemerintah Propinsi berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk Papua;
  2. Dalam melaksanakan kewajibannya, Pemerintah Propinsi melibatkan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam melaksanakan hal-hal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1);
  3. Pelibatan lembaga swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan pembiayaan;
  4. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai (3) ditetapkan dengan Peraturan Propinsi.

BAB XVII
KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 55
  1. Pemerintah Propinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Propinsi Papua;
  2. Untuk mempercepat upaya pemberdayaan dan peningkatan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan, maka Pemerintah Propinsi memberlakukan kebijakan afirmatif selama kurun waktu tertentu;
  3. Penempatan penduduk di Propinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah ditiadakan;
  4. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan Peraturan Propinsi.
Pasal 56
  1. Setiap orang mempunyai hak yang sama berdasarkan pilihan secara sukarela atas pekerjaan yang layak;
  2. Orang Papua asli berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan berdasarkan pendidikan dan keahliannya;
  3. Hal-hal yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, diatur dalam Peraturan Propinsi.

BAB XVIII
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 57
Pembangunan di Propinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang.
Pasal 58
  1. Pemerintah Propinsi berkewajiban mengelola dan memanfaatkan lingkungan hidup untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk, mengakui hak milik dan hak adat setempat, serta menjamin kelestarian lingkungan hidup;
  2. Untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses-proses ekologis terpenting, Pemerintah Propinsi berkewajiban mengelola kawasan-kawasan lindung;
  3. Pemerintah Propinsi wajib melibatkan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup;
  4. Pemerintah Propinsi dapat membentuk badan independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan;
  5. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Propinsi.

BAB XIX
S O S I A L
Pasal 59
(1) Pemerintah Propinsi wajib memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak
kepada:
a. anak-anak yatim piatu,
b. orang lanjut usia yang memerlukan,
c. kaum cacat fisik dan mental,
d. korban bencana alam;

(2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Propinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga swadaya masyarakat;
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Propinsi;

Pasal 60
Pemerintah Propinsi memberikan perhatian khusus bagi pengembangan suku-suku yang
terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Propinsi Papua;

BAB XX
P E N G A W A S A N
Pasal 61
  1. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggungjawab, maka dilakukan pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial;
  2. Pengaturan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Dasar.

BAB XXI
KERJASAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 62
Propinsi Papua dapat mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dengan propinsi lain di Indonesia sesuai kebutuhan.
Pasal 63
  1. Perselisihan antarpropinsi diselesaikan oleh Pemerintah secara musyawarah;
  2. Apabila dalam penyelesaian perselisihan antarpropinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat salah satu pihak yang tidak menerima keputusan Pemerintah, pihak tersebut dapat mengajukan penyelesaian ke Mahkamah Agung;
  3. Perselisihan antarKabupaten/Kota diselesaikan oleh Pemerintah Propinsi secara musyawarah;
  4. Apabila dalam penyelesaian perselisihan antarKabupaten/Kota, sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3) terdapat salah satu pihak yang tidak menerima keputusan Pemerintah Propinsi, pihak tersebut dapat mengajukan penyelesaian ke Badan Peradilan Propinsi;
  5. Perselisihan antarKabupaten/Kota dengan Pemerintah Propinsi, apabila tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, dapat diajukan ke Badan Peradilan Propinsi.
BAB XXII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Gubernur Propinsi, Wakil Gubernur Propinsi, DPRD Propinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota, Wakil Walikota, dan DPRD Kota di Wilayah Propinsi Papua yang telah diangkat sebelum Undang-undang ini disahkan, tetap menjalankan tugas sampai berakhir masa jabatannya.
Pasal 65
  1. DPRD Propinsi untuk pertama kalinya menetapkan syarat-syarat dan tatacara pemilihan anggota MRP;
  2. MRP mulai melaksanakan tugasnya selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah diundangkannya Undang-undang ini;
  3. Parlemen Papua selambat-lambatnya 18 (delapan belas) bulan setelah Undang-undang ini mulai berlaku menetapkan Peraturan Dasar;
Pasal 66
Selama masa peralihan, kewenangan-kewenangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah tetap berlaku sampai dengan ditetapkan Peraturan Dasar yang memuat Daftar Kewenangan Definitif yang diakui sebagai kewenangan Pemerintah sesuai dengan pasal 6 ayat (2).
Pasal 67
Selama belum ditetapkan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini, seluruh peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Propinsi sebelumnya tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 68
Peraturan Propinsi sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus ini
ditetapkan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak diundangkan.
Pasal 69
Apabila hasil pelurusan sejarah sebagaimana yang dimaksud pada pasal 43 Undang-undang ini terbukti menunjukkan bahwa proses integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di waktu lalu tidak sesuai dengan hukum internasional mengenai hak penentuan nasib sendiri suatu bangsa, maka Pemerintah dan rakyat Papua melalui Parlemen Papua akan mengambil langkah-langkah penyelesaian.

BAB XXIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Propinsi Papua merupakan satu kesatuan wilayah yang tidak dapat dimekarkan menjadi propinsi-propinsi baru.
Pasal 71
Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan undang-undang ini hanya mengatur hal-hal yang menjadi wewenang Pemerintah dan dalam penyusunannya dikonsultasikan dengan Pemerintah Propinsi.
Pasal 72
Sepanjang tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, ketentuan lebih lanjut untuk
melaksanakannya ditetapkan dengan Peraturan Propinsi.
Pasal 73
Ketentuan perundang-undangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku di Propinsi Papua.
Pasal 74
  1. Perubahan terhadap Undang-undang ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan rakyat Papua melalui referendum yang hasilnya disahkan oleh Parlemen Papua.
  2. Apabila terjadi perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945 yang berdampak secara mendasar pada pemberlakuan Undang-undang ini, maka atas prakarsa Parlemen Papua dapat diselenggarakan referendum di Propinsi Papua untuk menentukan sikap politik rakyat Papua.
  3. Pengaturan tentang tatacara pelaksanaan referendum diatur dalam Peraturan Dasar;
Pasal 75
Setelah 5 tahun Undang-undang ini diundangkan dan ternyata tidak dapat dilaksanakan
secara efektif, maka rakyat Papua melalui Parlemen Papua meminta kepada MPR RI agar bersidang guna menetapkan referendum untuk menentukan sikap politik rakyat Papua;
Pasal 76
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
Pada tanggal, 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal, 2001
























SEKERTARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA








DJOHAN EFFENDI
PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG













OTONOMI KHUSUS BAGI PROPINSI PAPUA DALAM BENTUK WILAYAH BERPEMERINTAHAN SENDIRI




I. UMUM
  1. Keputusan politik menggabungkan Tanah Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1963 ternyata masih belum menghasilkan kesejahteraan, kemakmuran dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Kondisi masyarakat Papua dalam bidang-bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik masih sangat memprihatinkan dibandingkan dengan kesejahteraan yang dinikmati oleh sebagian besar saudara-saudaranya di propinsi lain di Indonesia. Selain itu, persoalan-persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dan indikasi pengingkaran hak kesejarahan rakyat Papua masih belum juga diselesaikan secara adil dan bermartabat. Hal-hal tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu ironi, karena di dalam Alinea IVPembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dinyatakan dengan tegas mengenai tujuan bangsa Indonesia yakni; "... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial ..." di mana termasuk di dalamnya kesejahteraan rakyat Tanah Papua. Keadaan ini mengakibatkan munculnya berbagai ketidakpuasan yang tersebar di seluruh Tanah Papua dan diekspresikan dalam berbagai bentuk. Banyak di antara ekspresi ketidakpuasan tersebut dihadapi dengan cara-cara kekerasan dengan menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Pelanggaran HAM tidak jarang menjadi warna penyelenggaraan pembangunan di Papua. Puncaknya adalah semakin banyaknya rakyat Papua yang beranggapan bahwa lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu alternatif untuk memperbaiki kesejahteraan diri sendiri.
  2. Bergulirnya reformasi di Indonesia membuka pintu bagi timbulnya berbagai pemikiran baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa Indonesia. Untuk kasus Papua, wakil-wakil rakyat di MPR-RI menetapkan perlunya memberikan status Otonomi Khusus sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1999 Bab IV huruf (g) poin 2. Apabila semua pihak mendukung pelaksanaan Otonomi Khusus ini dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk menentukan isinya, maka sesungguhnya akan banyak masalah yang dapat diselesaikan. Pemberian kepercayaan seperti yang dimaksudkan tersebut adalah suatu langkah awal yang positif dan signifikan dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi dialog-dialog yang masih perlu dilakukan di masa depan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah Papua.
  3. Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan secara jelas dan tegas sejak awal, karena telah terbentuk berbagai pemahaman yang negatif mengenai Otonomi di kalangan rakyat Papua. Pengalaman buruk yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang juga memberlakukan daerah Papua sebagai suatu daerah otonomi, berdasarkan Undang-Undang Nomor:12 Tahun 1969, merupakan alasan penting dimilikinya sikap negatif ini. Istilah Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri. Kebebasan mengatur dan mengurus diri sendiri ini sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia, kebudayaan serta kondisi alam Papua. Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya dengan dimilikinya panji-panji kebesaran seperti bendera, lambang dan lagu. Istilah "khusus" hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Dalam pengertian praktis, kekhususan otonomi di Papua adalah bahwa terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.
  4. Ada tiga hal mendasar yang menjadi ciri Undang-undang ini. Pertama, adalah pemisahan kewenangan yang nyata antara Pemerintah dan Pemerintahan Propinsi Papua, di mana pemerintah Propinsi memiliki semua kewenangan untuk mengurus dan mengatur diri sendiri serta berpemerintahan sendiri kecuali untuk hal-hal pertahanan eksternal, politik luar negeri, moneter dan hal-hal lain yang karena sifatnya masih memerlukan kerjasama dengan pemerintah pusat, misalnya karena menyangkut kesepakatan-kesepakatan internasional tertentu. Kedua, pemberdayaan strategis dan mendasar bagi penduduk asli Papua — termasuk di dalamnya perlindungan akan hak-hak penduduk asli. Ketiga, adalah sifat-sifat penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, efektif dan profesional yang dicirikan dengan: (1) pemisahan yang tegas dan jelas antara wewenang, tugas dan tanggung jawab badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; (2) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pen! gontrolan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya; serta (3) penyelenggaraan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk menjawab kebutuhan dasar orang asli Papua dan penduduk Propinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan hidup, berkeadilan, memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, dan bercirikan pembangunan yang berkelanjutan.
  5. Undang-undang ini menempatkan penduduk asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai sentra perhatian. Keberadaan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi serta perangkat pemerintahan di bawahnya semuanya diarahkan untuk memberikan pelayanan dan pemberdayaan terbaik bagi rakyat.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 19
Yang dimaksud dengan orang Papua asli adalah seseorang yang kedua orang tuanya asli Papua atau salah satu orang tuanya asli Papua.
Pasal 2
Penggantian nama ini merupakan perwujudan dari keinginan masyarakat untuk menyatakan jatidiri sebagai suku bangsa Papua.
Pasal 3
Bendera, lambang, dan lagu merupakan jatidiri bagi Propinsi Papua, yang telah
diyakini sebagai simbol pemersatu dalam melakukan segala upaya pencapaian kesejahteraan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Pasal 4
Garis batas 12 mil laut yang dimaksudkan dalam pasal ini diukur dari garis pantai
waktu air surut;
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan otonom adalah bahwa Propinsi dan Kabupaten atau Kota memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat;
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pengaturan pemerintahan Kabupaten dan Kota mencakup pembagian kewenangan antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota, susunan pemerintahan Kabupaten/Kota, kedudukan tugas wewenang, hak dan kewajiban keanggotaan DPRD Kabupaten/Kota, penentuan norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan jabatan, penetapan gaji, tunjangan, kesejahteraan, pensiun, hak dan kewajiban, serta kedudukan hukum pegawai negeri sipil Daerah;
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Khusus di bidang moneter, dapat diberlakukan mata uang sendiri yang disebut Rupiah
Papua, yang selanjutnya diatur oleh Bank Indonesia dan Pemerintah Propinsi Papua.
Ayat (2)
Kewenangan Pemerintah selain dari yang dimaksud pada ayat (1) antara lain kewenangan
yang bersifat lintas Propinsi, standarisasi telekomunikasi, standarisasi profesi
keahlian, karantina, penanganan penyakit menular, dan yang sejenisnya.
Ayat (3)
Dalam rangka menyelenggarakan kerjasama dibidang ekonomi dan perdagangan, Pemerintah Propinsi dapat membentuk dewan hubungan Internasional, yang berfungsi melakukan kajian-kajian, negosiasi dan arbritrase internasional dalam urusan ekonomi,
perdagangan, keuangan, investasi, dan lingkungan hidup.
Ayat (4)
Pengaturan penempatan satuan Tentara Nasional Indonesia yang dimaksudkan pada ayat ini meliputi jumlah dan lokasi markas;
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Bagi perjanjian yang telah disepakati sebelum undang-undang ini berlaku, termasuk di
dalamnya Kontrak Karya antara Pemerintah dengan badan-badan usaha, tetap dihargai
selama tidak merugikan masyarakat Papua dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini;
Pasal 7
Ayat (1)
Parlemen Papua merupakan wahana pelaksanan demokrasi, yang terdiri atas dua kamar,
yakni Majelis Rakyat Papua sebagai representasi dari orang Papua asli dan Dewan
Perwakilan Rakyat Papua, sebagai representasi dari Partai Politik Lokal dan Nasional
peserta pemilu;
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Perangkat Pemerintah Propinsi yang dimaksudkan pada ayat ini adalah unsur pembantu
Gubernur, yang terdiri dari sekretariat, Dinas Daerah, dan lembaga tehnis lainnya, yang
dibentuk sesuai kebutuhan dan potensi yang tersedia.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Perangkat Pemerintah Kabupaten dan/atau Kota yang dimaksudkan pada ayat ini adalah
unsur pembantu Bupati dan/atau Walikota yang terdiri dari sekretariat, Dinas Daerah,
dan lembaga tehnis lainnya, yang dibentuk sesuai kebutuhan dan potensi yang tersedia.
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Selain melaksanakan fungsi-fungsi legislasi, MRP juga melaksanakan fungsi konsultatif,
serta sebagai representasi dari masyarakat adat dan umat beragama dan kaum perempuan.
Pasal 9
Ayat (1)
Perempuan Papua asli diberi tempat di dalam MRP oleh karena didalam adat sebagian besar suku di Papua tidak diberi hak yang sama dengan kaum laki-laki, pada hal jumlah
perempuan di dalam masyarakat paling sedikit merupakan separuh dari jumlah penduduk asli. Kuota sebesar 1/3 dari anggota MRP untuk perempuan dimaksud untuk memberi keadilan, selain itu mengacu pada kesepakatan internasional tentang gender.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas


Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hak imunitas adalah hak kekebalan hukum yang dimiliki oleh setiap anggota DPRP dalam kerangka pelaksanaan tugas dan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak impunitas adalah hak untuk secara bebas mengemukakan pendapat tentang sesuatu hal tanpa tekanan apapun dalam kerangka pelaksanaan tugas dan wewenang.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Pembentukan Partai Politik Lokal tidak dimaksudkan untuk mengganti Partai Politik
Nasional, akan tetapi sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat
dan penguatan lembaga perwakilan sebagai institusi penyalur aspirasi.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Peraturan Dasar adalah peraturan yang dibuat dan ditetapkan oleh Parlemen. Peraturan
Dasar adalah landasan operasional sebagai pelaksana Undang-Undang tentang Otonomi
Khusus Propinsi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri. Dalam Peraturan Dasar ini ditetapkan pula Garis-Garis Besar Haluan Pembangunan Propinsi Papua yang merupakan landasan visional yang memberikan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Propinsi Papua dalam kurun waktu 5 (lima) tahun dan dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Ayat (2)
Untuk melaksanakan Undang-undang ini dan hal-hal yang diatur di dalam Peraturan Dasar termasuk di dalamnya GBHPPP, Gubernur bersama-sama dengan DPRP menetapkan Peraturan Propinsi sebagai landasan misional.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Berdasarkan Peraturan Propinsi maka Gubernur menyusun dan menetapkan Keputusan
Gubernur sebagai landasan implementasi;
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam ayat ini
adalah peraturan perundang-undangan tingkat pusat yakni, Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu yang merupakan kewenangan pusat seperti dimaksud dalam pasal 6 ayat (2).
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas

Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Istilah "dimasyarakatkan" disini di maksudkan adalah upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah Propinsi untuk menyebarluaskan dan mensosialisasikan Peraturan Propinsi atau Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur, kepada masyarakat umum agar diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Dengan diberlakukannya Undang-undang ini maka sudah tidak digunakan lagi istilah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Propinsi Papua seperti yang dikenal di waktu lalu.
Seluruh kewajiban yang harus dibayar oleh penduduk dan Badan Usaha di Propinsi Papua adalah Pendapatan Asli Propinsi.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Undang-undang ini mengatur bahwa seluruh setoran/pembayaran yang berbentuk pajak dan bukan pajak yang objeknya berada di Propinsi Papua harus disetor ke kas pemerintah
Propinsi Papua. Hal ini adalah konsekuensi dari pemberlakukan Otonomi Khusus di
propinsi ini, karena sejak diberlakukannya Undang-undang ini, rakyat Papua harus
memikul sendiri seluruh beban keuangan penyelenggaraan pembangunan di propinsinya.
Ketertinggalan penduduk Papua di berbagai bidang pembangunan — suatu hal yang diakui
oleh berbagai pihak di dalam dan luar negeri — hanya dapat diselesaikan dengan
mengerahkan seluruh kemampuan yang ada di Papua, termasuk kemampuan keuangan yang berasal dari Tanah Papua sendiri.
Ayat (2)
Mengingat bahwa terdapat sejumlah kewenangan tertentu yang karena sifatnya merupakan tanggung jawab Pemerintah yang juga terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Propinsi Papua, maka Propinsi Papua harus pula memikul beban keuangan tertentu yang besarnya proporsional sesuai dengan besarnya kewenangan tersebut. Itu sebabnya, perbandingan alokasi keuangan yang pantas antara Propinsi Papua dan Pemerintah adalah 80 : 20.
Pasal 34
Ayat (1)
Penduduk adalah individu, lembaga pemerintah, dan perusahaan yang kegiatan utamanya
melakukan konsumsi, produksi dan transaksi ekonomi lainnya serta yang berdomisili lebih dari satu tahun. Dalam pengertian ini yang termasuk bukan penduduk antara lain penduduk suatu negara yang bekerja di negara lain (untuk Indonesia adalah Tenaga Kerja
Indonesia), diplomat, dan konsul asing serta karyawan asing perwakilan perusahaan
asing dan lembaga internasional.
Ayat (2)
Pajak dikenakan sesuai dengan kemampuan membayar. Penarikan pajak tidak dimaksudkan untuk menciptakan beban yang memberatkan masyarakat, tetapi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sekaligus sebagai alat untuk memungkinkan masyarakat lebih memiliki kontrol terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Pasal 35
Ayat (1)
Tulang punggung perekonomian Propinsi Papua adalah manfaat-manfaat yang diperoleh dari eksploitasi sumberdaya alamnya. Sebagian besar sumberdaya tersebut bersifat tidak
dapat diperbaharui. Dengan demikian, perlu diletakkan dasar-dasar yang kukuh agar
dalam jangka panjang perekonomian Papua tidak semata-mata bergantung pada hasil-hasil ekstraktif;
Pasal 36
Ayat (1)
Perolehan manfaat dari pengolahan sumberdaya alam sedapat mungkin tidak dilakukan hanya dengan menjual bahan baku, tetapi harus ditingkatkan dengan melakukan pengolahan lanjutan bahan baku tersebut di Propinsi Papua sehingga secara bertahap propinsi ini mampu menjual barang-barang jadi yang lebih tinggi nilai tambahnya.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi dunia usaha dalam meningkatkan peranannya, maka perizinan dan perjanjian kerjasama, khususnya yang bersifat internasional dan/atau multinasional, yang telah dilakukan sebelum ditetapkan
undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masing-masing
perizinan atau perjanjian kerjasama dimaksud. Jika perizinan dan perjanjian tersebut
merugikan rakyat atau bertentangan dengan jiwa dan semangat UU ini, maka dapat ditinjau kembali.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hak-hak adat di sini terdiri atas hak milik perorangan dan hak
milik bersama (hak ulayat) atas tanah, air, hutan dan isinya. Pengakuan, penghormatan,
dan perlindungan hak-hak adat dalam ayat ini, termasuk hak-hak adat (hak ulayat) yang
pernah dialihkan kepada pihak lain secara sah menurut tatacara dan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak dapat dituntut atau digugat kembali oleh ahli waris demi
kepastian hukum.
Ayat (2)
Pemanfaatan hak-hak adat untuk kepentingan pemerintah dan atau swasta dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat adat dengan pihak yang membutuhkan, harus disertai dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang tunai, tanah pengganti, pemukiman kembali, atau
sebagai pemegang saham.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hak-hak adat atas hak cipta mencakup hak-hak dalam bidang kesenian yang terdiri dari seni suara, tari, ukir, pahat, lukis, anyam, tata busana dan
rancangan bangunan tradisional serta cabang-cabang kesenian lainnya, maupun hak-hak
yang terkait dengan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat adat/asli Papua, misalnya obat-obatan tradisional dan yang sejenisnya.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Kewajiban dimaksud semata-mata bukan kewajiban kepada pemerintah saja, tetapi kewajiban tersebut diberikan juga kepada warga masyarakat untuk menghormati dan melindungi hak asasi sesama manusia lainnya.
Ayat (2)
Komisi Hak-hak Asasi Manusia Propinsi dalam melaksanakan tugasnya melakukan koordinasi fungsional dengan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia untuk melindungi, menghormati dan mempertahankan tegaknya HAM sehingga tidak terjadi pengabaian, pengurangan atau perampasan HAM oleh siapa pun, kecuali oleh Undang-undang atau Putusan Pengadilan.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara (sipil, TNI, dan Polri) baik disengaja
maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang.
Ayat (3)
Pemberian kompensasi atau dalam bentuk lain oleh pemerintah kepada korban atau ahli
waris yang dibebankan kepada APBN sejak tanggal 1 Mei 1963 disesuaikan dengan integrasi propinsi Papua ke dalam NKRI. Sedangkan pelanggaran HAM sebelum tanggal dan tahun tersebut di atas, pengajuan tuntutan ganti rugi dari korban atau keluarganya diajukan kepada Badan Peradilan HAM.
Pasal 43
Ayat (1)
Komisi ini merupakan Comission of Historical Clarification (Komisi Klarifikasi Sejarah)
yang menempuh berbagai macam upaya guna mengadakan dialog antara pemerintah dengan rakyat Papua terhadap sejarah integrasi dan pelanggaran HAM di Papua sejak tahun 1963.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 44
Apabila ada dugaan bahwa telah terjadi pelanggaran Hak Azasi Manusia terhadap
perempuan, maka penyelesaiannya dilakukan menurut cara-cara hukum yang diatur dalam pasal 45, pasal 46 dan atau pasal 49 dari Undang-Unadang ini.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Peradilan Agama yang dimaksud pada ayat ini dan ayat (3) adalah Peradilan Agama khusus untuk Agama Islam yang menyangkut perkara perceraian, wakaf dan waris.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Cukup Jelas
Ayat (8)
Putusan peradilan adat yang dimaksud di sini adalah putusan yang sudah disetujui oleh
kedua belah pihak yang berperkara/bersengketa dan tidak dapat dilanjutkan ke Badan
Peradilan Umum.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Agama yang dimaksudkan di sini adalah Agama yang secara resmi diakui oleh negara,
yaitu: Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha. Sedangkan keyakinan
adalah konsep-konsep nilai yang menjadi kepercayaan para penganutnya yang diakui dan
terdaftar di Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.
Ayat (2)
Kewajiban di sini dimaksudkan untuk menciptakan suasana yang harmonis antar dan intern umat beragama, dalam rangka ikut menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "membina kerukunan dan melindungi semua umat beragama" adalah upaya Pemerintah Propinsi untuk menciptakan suasana yang harmonis antar dan intern umat beragama
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan nilai-nilai agama adalah nilai-nilai yang terdapat dalam kitab
suci masing-masing agama.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan otonomi lembaga keagamaan adalah kewenangan dari setiap agama untuk mengurus rumah tangga agamanya sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan proporsional adalah pemberian bantuan yang seimbang oleh
Pemerintah Propinsi dengan memperhatikan kondisi objektif penganut agama penduduk asli di tiap daerah.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Pendidikan dan pengajaran yang bermutu adalah penyelenggaraan aktivitas pendidikan dan pengajaran baik pada jenjang pendidikan sekolah, yakni jenjang pendidikan dasar,
menengah, dan pendidikan tinggi maupun pendidikan luar sekolah yang mengutamakan
peningkatan mutu, martabat, dan mencerdaskan kehidupan rakyat Papua seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pemerintah membebaskan biaya pendidikan bagi orang Papua asli yang mengikuti pendidikan pada jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah.
Ayat (4)
Pendidikan di tanah Papua telah lama diselenggarakan oleh Lembaga Keagamaan antara lain Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja-gereja Injili (YPPGI), Yayasan Pendidikan Advent (YPA), Yayasan Pendidikan Islam (Yapis), dan yayasan lainnya yang telah diselenggarakan oleh masyarakat.
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Kebudayaan asli Papua yang dimaksud di sini adalah semua kebudayaan yang berciri etnis Melanesia yang hidup dan berkembang serta diwariskan secara turun-temurun di Tanah Papua. "kebudayaan etnis lainnya" yang dimaksud di sini adalah semua kebudayaan yang tidak bercirikan etinis Melanesia yang hidup dan berkembang pula di Tanah Papua.
Ayat (2)
Lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat agar diberi kesempatan untuk ikut
memberdayakan kebudayaan asli Papua.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Propinsi Papua terdiri dari berbagai macam bahasa dan sastra daerah yang perlu mendapat perhatian dalam pembinaan dan pelestariannya.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Bahasa daerah yang dimaksud di sini adalah semua bahasa daerah yang hidup dan
berkembang di Tanah Papua yang digunakan sebagai bahasa ibu dalam keluarga dan bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar.
Pasal 53
Ayat (1)
Standar mutu dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang berkualitas dilaksanakan
secara merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat di pelosok tanah Papua.
Ayat (2)
Penyakit-penyakit endemis adalah penyakit-penyakit yang menonjol, seperti : malaria,
TBC, dan lain-lain; Penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk adalah penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh kelainan genetis;
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan beban masyarakat serendah-rendahnya adalah biaya pelayanan
kesehatan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi termasuk pembebasan biaya pelayanan bagi mereka yang tidak mampu untuk memperoleh pelayanan secara cuma-cuma.
Ayat (4)
Di tanah Papua telah lama terdapat berbagai yayasan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan sebagai mitra Pemerintah.
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan peningkatan gizi adalah upaya memenuhi standar gizi, diutamakan bagi ibu-ibu hamil dan balita terutama yang kurang mampu/ekonomi lemah, dan makanan tambahan bagi anak-anak yang mengikuti pendidikan dasar;
Ayat (2)
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat sebagai mitra Pemerintah yang mempunyai kepedulian dan bergerak di bidang pelayanan gizi agar mendapat perhatian dari Pemerintah.
Ayat (3)
Pemerintah menganggarkan biaya khusus dan memadai bagi peningkatan gizi dalam bentuk subsidi bagi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pelayanan gizi.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Pertumbuhan penduduk yang dimaksudkan di sini meliputi : angka kelahiran, angka
kematian dan migrasi;
Ayat (2)
Kebijakan afirmatif adalah suatu pendekatan yang memberikan perlakuan-perlakuan khusus kepada penduduk Papua asli, agar dalam waktu yang secepat-cepatnya dapat mengembangkan kemampuan diri secara optimal sehingga mampu bersaing dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Kebijakan ini dapat diikuti dengan kebijakan lain untuk mengendalikan migrasi masuk ke Propinsi Papua dengan memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini: (1) diberikan prioritas kepada para pemilik modal yang bermaksud menanamkan modalnya secara nyata di Tanah Papua; (2) mereka yang memiliki keahlian/ketrampilan khusus yang diperlukan di Propinsi Papua; (3) para relawan profesional yang mendukung kegiatan pembangunan; dan (4) mereka yang bermigrasi masuk karena alasan-alasan kemanusiaan yang jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Pilihan pekerjaan seseorang disesuaikan dengan keahlian dan ketrampilan yang dimiliki
tanpa diskriminasi.
Ayat (2)
Untuk memberikan perlindungan terhadap penduduk Papua asli dalam rangka pemberdayaan di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 57
Pembangunan berkelanjutan berarti upaya-upaya pembangunan yang dilakukan di masa
sekarang di Tanah Papua tidak boleh mengorbankan mutu kehidupan generasi akan datang. Yang dimaksud dengan berwawasan lingkungan adalah bahwa upaya-upaya pembangunan yang dilakukan tidak boleh mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan yang mengakibatkan menurunnya mutu lingkungan secara permanen, mengorbankan mutu kehidupan masyarakat, dan mengakibatkan hancurnya keanekaragaman hayati. Bermanfaat artinya segala yang dihasilkan dari setiap kegiatan pembangunan harus dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat Papua asli. Berkeadilan artinya pembangunan yang dilakukan untuk semua penduduk Papua di semua lokalitas dan tingkat sosial.
Pasal 58
Ayat (1)
Hak milik adalah hak perorangan yang diwariskan secara turun-temurun; Hak adat adalah
hak yang dimiliki secara kolektif dalam bentuk hak ulayat; Kedua hak tersebut dihormati
dan diakui dalam bentuk pemberian ganti rugi yang layak dan adil bagi masyarakat adat
setempat;
Ayat (2)
Cukup Jelas

Ayat (3)
Dalam melibatkan lembaga swadaya masyarakat untuk pengelolaan kelestarian lingkungan hidup, Pemerintah Pemerintah dapat memberi bantuan keuangan kepada lembaga swadaya masyarakat yang diatur didalam peraturan Propinsi.
Ayat (4)
Anggota-anggota Badan Independen Penyelesaian Sengketa Lingkungan diangkat dari
berbagai komponen masyarakat yang independen dan mempunyai latar belakang pengetahuan dalam lingkungan Hukum dan adat, tetapi dibiayai oleh pemerintah. Badan independen dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus-kasus lingkungan yang disengketakan antara masyarakat dengan badan-badan usaha dan Pemerintah;
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 59
Ayat (1)
a. yatim piatu adalah anak-anak yang hidup tanpa ayah dan ibu yang tidak mampu;
b. orang lanjut usia yang memerlukan adalah orang-orang tua yang semata-mata
menggantungkan hidupnya dari bantuan orang lain;
c. kaum cacat fisik dan mental adalah orang-orang yang tidak dapat menolong dan
menghidupi dirinya sendiri, yang diakibatkan karena bawaan sejak lahir dan/atau karena
musibah.
d. Korban bencana alam antara lain : korban yang diakibatkan oleh bencana banjir, tanah
longsor, gempa bumi;
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 60
Suku-suku terabaikan adalah sekelompok orang yang mendiami wilayah tertentu yang masih terisolir dan belum terjangkau oleh berbagai pengaruh kehidupan modern.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 62
Cukup Jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 64
Cukup Jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 66
Cukup Jelas
Pasal 67
Cukup Jelas
Pasal 68
Cukup Jelas
Pasal 69
Cukup Jelas
Pasal 70
Cukup Jelas
Pasal 71
Cukup Jelas
Pasal 72
Cukup Jelas
Pasal 73
Cukup Jelas
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 75
Yang dimaksud "tidak dapat dilaksanakan secara efektif" adalah tindakan campur tangan
(intervensi) yang berlebihan dari Pemerintah dengan akibat Undang-Undang ini tidak
dapat dilaksanakan sebagimana mestinya. Referendum untuk menentukan sikap politik bagi rakyat Papua untuk memilih berdasarkan prinsip satu orang satu suara, apakah tetap
bergabung dengan Negara Kesatuan republik Indonesia atau harus merdeka.
Pasal 76

Cukup Jelas